Dilahirkan didalam keluarga dengan mindset yang sangat
menghargai kebersamaan, aku sudah merasa sangat nyaman berada disini. Hangatnya
kebersamaan ini sudah kurasakan sejak pertama kali menghirup udara dunia pada
tanggal 4 Juli 1994. Sukoharjo yang masih termasuk bagian dari Solo membuatku
menjadi pribadi yang menjunjung tinggi nilai-nilai jawa. Hidup dalam keluarga
yang sangat sederhana mengajarkanku berbagai hal yang sangat berharga. Sebagai
anak pertama dari lima bersaudara, aku harus pandai-pandai menerima apa-apa
yang telah diajarkan dalam keluarga yang kemudian akan dijadikan contoh oleh
adik-adikku kedepannya.
Salah satu pelajaran yang sangat tertanam dalam diri ini adalah
mengenai kemandirian. Ya, dengan keterbatasan yang dirasakan keluarga, dengan
ini pula aku mengolah keterbatasan itu menjadi peluang, dan kemudian diolah
menjadi pola kemandirian hidup. Saat kelas 4 SD, tanpa memperdulikan rasa
gengsi yang ada aku membantu umiku jualan nasi kuning di sekolahku. Pelajaran
penting lainnya yang diajarkan tersirat dalam kehidupan dikeluarga yakni
tentang pengambilan keputusan. Hal ini bisa dilihat saat memutuskan akan
melanjutkan ke SMP, aku diberi kebebasan memilih keputusanku sendiri. Saat itu
aku sangat menginginkan untuk lanjut di pondok pesantren. Tapi karena
mempertimbangkan berbagai hal aku memutuskan untuk melanjutkan di SMPN 1
Sukoharjo yang saat itu masih gratis uang sekolahnya.
Setelah lulus dari SMPN 1 itu aku memilih untuk merealisasikan
keinginan masuk pondok pesantren yang sempat tertunda oleh keadaan keluarga
dahulu. Dengan nilai UN yang termasuk 10 besar dari 320 siswa, kepala sekolah
SMP saat itu menyayangkan keputusanku untuk melanjutkan di ponpes. “Emang yang
masuk ponpes itu orang-orang bodoh semua? Islam juga membutuhkan orang-orang
berprestasi” pemikiran seperti inilah yang membuatku tetap bertahan pada
pendirianku. Setelah masuk di ponpes, banyak pihak pondok yang terkejut karena
lulusan SMPN 1 mau masuk pondok pesantren. Mereka masih dipengaruhi oleh
mindset masyarakat umum yang mengira bahwa ponpes hanyalah sekolah untuk
orang-orang yang gagal masuk SMA favorit. Aku tetap pada pendirianku dan
mencoba menelurkan berbagai prestasi di pondok agar mengubah pola pikir mereka.
Salah satu yang kusukai dari pihak ponpes yaitu kebebasan dalam
menuangkan kreativitas dalam mading. Karena mewarisi darah kakekku yang
pelukis, aku juga berbakat dalam hal menggambar. Kali itu, mading yang kubuat
dipenuhi dengan hiasan graffiti. Sangat berbeda dengan saat di SMP yang
membatasi kreatifitas dan menilai graffiti adalah karya seni kriminal. Karena
hal itulah, aku semangat untuk mengasah kemampuanku dalam hal street art tersebut.
Sampai suatu saat aku beranikan izin tidak masuk sekolah dan mengikuti graffiti
competition yang diadakan oleh UNS Solo. Kami yang hanya anak pondok tak punya
apa-apa pergi dengan jalan kaki menuju UNS untuk ikut lomba graffiti.
Berkeringat, kami hampir menempuh 6km dengan berjalan kaki. Tapi seperti yang
dikatakan dalam mahfuzat arab ‘man jadda wa jada’, sungguh tak
terpikirkan sebelumnya kami menempati peringkat ketiga mengalahkan kelas
mahasiswa jurusan seni lainnya yang menjadi lawan kami dalam perlombaan itu.
Setelah itu, prestasi-prestasi dibidang seni kemudian menyusul seperti juara 1 Doujinshi
SMA 7 Surakarta, juara 2 Design Chara SMA 4 Surakarta, juara 3 Mural
Competition ‘Sahabat Al-Aqsha’, Juara 1 Mural Competition DKV UNS Solo, sampai
diundang oleh MAN Ngawi untuk mengisi workshop dan praktek langsung Graffiti
Street Art .
Tradisi ponpes mengharuskan menjalani pengabdian setahun setelah 3
tahun belajar disana. Merupakan suatu ujian dan kebanggaan aku ditugaskan untuk
merintis ponpes baru di daerah Sukoharjo. Dalam perintisan aku dapat belajar
berbagai hal antara lain rumitnya birokrasi perintisan suatu institusi,
berhadapan dengan masyarakat secara langsung sebagai pembawa idelisme baru
sekaligus sebagai anggota masyarakat itu sendiri. Disana juga belajar bagaimana
mengelola keuangan lembaga LAZIS kaitannya dengan perintisan ponpes, tak lupa
dan sangat pasti aku belajar survival hidup mandiri dalam masyarakat.
Setelah berhasil menghandel TPQ di perintisan pondok dan mengadakan pengajian
ibu-ibu, masalah internal mulai muncul. Dan karena idealisme yang sangat
bersinggungan dengan pembimbing dalam perintisan tersebut, saya memutuskan
keluar dari pengabdian.
Selain itu, ada satu faktor lagi yang membuat saya berkeputsan
bulat untuk keluar dari perintisan, yakni keluargaku sedang membutuhkan
sokongan ekonomi yang lebih. Sebagai anak pertama, aku tidak akan tinggal diam
ketika mendengar kabar bahwa surat tanah keluarga telah digadaikan demi
menambal kekurangan biaya sekolah 4 orang adikku. Saatnya mengubur keinginanku untuk kuliah.
Saat itu orang tuaku menanyakan kembali keputusanku untuk bekerja,
padahal dari dulu aku terkenal ingin segera berkuliah. Setelah bisa meyakinkan
orang tua bahwa inilah keputusanku dan aku siap menanggung segala resikonya,
mereka akhirnya membolehkanku bekerja walaupun berat melihat anaknya mengubur
keinginannya untuk kuliah. Dengan mempunyai link-link kerja di
pelayaran, aku mengikuti training kelautan dan akhirnya diterima kerja di kapal
crane barge milik Total E&P Indonesie, perusahaan minyak milik Perancis
yang ada di Balikpapan. Setiap bulannya, aku bisa mengirim uang kepada orang
tuaku, bahkan sampai bisa membelikan motor buat umiku. Suatu prestasi
yang sungguh membanggakan. Tidur di kamar ber-AC, makan apa aja ada dan
fasilitas mewah lainnya membatku hidup seperti orang kaya saat bekerja di
kapal. Disana aku benar-benar mengalaminya sendiri, bahwa kemewahan ataupun
kekayaan bukanlah ukuran kebahagiaan seseorang. Saat pertama kali makan makanan
mewah aku merasakan enak, tapi ketika hal itu sudah menjadi kebiasaan
sehari-hari, maka teori kebosanan mulai bekerja. Menjadi orang kaya itu biasa
saja, bahkan kita justru ingin merasakan kesederhanaan hidup dengan makanan ala
kadarnya. Disitu juga aku paham apa itu ‘kebutuhan’ dan ‘keinginan’. Kebutuhan
itu mutlak wajib dipenuhi, tapi keinginan tak harus dipenuhi. Jika keinginan
terpenuhi, maka hal itu terasa nyaman disaat-saat pertama, tapi akan menjadi
hal biasa jika terulang-ulang. Hal ini menjadikan ‘keinginan’ manusia tak akan
ada habisnya.
Di kapal, aku hanya bertahan kerja 1 tahun saja. Setelah masalah
ekonomi keluarga sedikit membaik, keinginan untuk kuliah kembali muncul.
Temanku yang berada di UI siap membantu belajar kembali, aku bulatkan tekad
untuk ikut SBMPTN dan masuk PTN favorit. Alhamdulillah, Allah
melancarkan pilihanku dan menetapkanku sebagai mahasiswa Universitas
Diponegoro, jurusan Sastra Jepang yang sesuai dengan passionku. Setelah
masuk Undip, kemudian muncullah kecemasan-kecemasan mengenai biaya kuliah,
karena aku sudah tidak meminta biaya lagi ke orang tuaku dan juga sudah tidak
bekerja lagi. Selain itu juga sudah kuperhitungkan bahwa tabunganku saat
bekerja dulu hanya bisa bertahan sampai akhir semester pertama.
Menjelang akhir semester pertama, saat kegundahanku memuncak, Allah
memberikan pertolonganNya lewat beastudi ETOS. Tidak berhenti disitu, ternyata
beastudi ETOS menyediakan fasilitas pembinaan dan pengembangan karakter diri
dimana hal ini mendatangkan kembali suasana ke’ponpes’an yang telah kurindukan.
Nilai-nilai ETOS lewat pembinaan setiap harinya menjadikan potensi setiap
individunya meningkat pesat. Suasana ‘kompetisi’ yang ada dalam asrama beastudi
ETOS membuat semangat tak mau kalah dalam hal kebaikan selalu terjaga. Fastabiqul
khoirot (berlomba-lomba dalam kebaikan) bukan suasana yang mustahil lagi
dalam asrama. Mulai masuk ETOS, aku kemudian mulai diamanahi menjadi
orang-orang berpengaruh dalam organisasi, cotohnya sebagai wakil ketua
pengembangan Despro Rowosari, wakil ketua Kazahana Cosplay Club, staf muda
Jaringan Media dan Informasi di Rohis Fakultas dan staf muda Riset dalam HMJ
Sastra Jepang. Selain bidang akademik, kita juga harus mengasah soft skill kita
sebagai mahasiswa the Agent of Change.
Seperti yang dikatakan captain kapalku dulu, kalau aku
kuliah passionku dibidang akademik akan berkembang, tidak stagnant
seperti kerja di kapal ini. Berbekal dari kata-kata itu, aku berjanji akan
lebih membanggakan kedua orang tuaku, daripada hanya sekedar bisa membantu dari
segi ekonomi. Hal itu dapat terrealisasi ketika aku mendapat cumlaude dalam
semester pertama ini. Senyum bangga telah berhasil kuukir di wajah dua orang
yang sangat kusayangi itu.
Kebahagiaan saat melihat senyum bangga kedua orang tua membuatku
ketagihan untuk melakukannya. Aku berjanji pada diriku sendiri akan istiqomah
membuat mereka tersenyum, dan tersenyum bangga lagi dengan apa yang telah
kucapai. Saatnya membuat target untuk bisa ke Jepang negara impianku dengan
ilmu, bukan dengan hartaku. Bukan juga sebagai TKI, melainkan sebagai
akademisi. Dengan target yang sudah kupasang, hal ini membuatku rajin mencari
informasi berbagai oppotunity untuk ikut dalam forum di Jepang, dan juga
kompetisi-kompetisi, serta beasiswa ke Jepang. Tak terduga-duga, walaupun melenceng
sedikit dari target, aku akhirnya mendapat kesempatan untuk menghadiri forum di
negara agak jauh berada di sebelah selatan Jepang.
Filipina.
Semuanya berawal ketika aku mendapat email yang sungguh
mengejutkan. Sebuah email yang menyatakan bahwa aku diterima dan diundang dalam
acara ASEAN Youth Seminar-Forum di Polytechnic University of Philippine pada 13
Maret 2015. Ketika itu, aku senang tapi juga bingung. Keseluruhan acaranya free
payment, tapi untuk tiket terbang dari Indonesia ke Filipina tidak disediakan
oleh panitia. Awalnya aku ragu bisa mengambil pengalaman internasional yang
berhasil kudapatkan. Tapi keraguan itu hilang karena rasa iri dengan prestasi
Etoser lainnya yang bisa melakukan pengembaraan intelektual ke berbagai pelosok
dunia.
Waktu yang tersisa hanya satu minggu menjelang acaranya dimulai.
Tak ada waktu untuk bermain-main lagi, tak ada waktu istirahat
lagi. Aku merasa bahwa untuk menjadi berprestasi, maka harus berusaha lebih
dari mayoritas usaha orang lain. Aku dan delegasi dari Undip yang lainnya
menyelesaikan proposal pengajuan dana dalam dua hari satu malam, dan besoknya
langsung diantarkan ke berbagai instansi.
Satu hal yang membuat kami down adalah ketika meminta
persetujuan pada Pembantu Rektor 3, Undip. Seolah-olah dipersulit, kami harus
merevisi proposal karena kesalahan sistematika sampai 7 kali. Celaan-celaan
yang kami terima dari sekretaris PR 3 tersebut membuat suatu dinding penghalang
yang membatasi impian kami. Tapi, dengan kerja keras dan tawakkal ilAllah,
akhirnya masalah proposal bisa diatasi dan dapat diedarkan.
Dikarenakan acara hanya berberapa hari lagi serta dana dari
proposal tidak mungkin cair dalam jangka waktu tersebut, kami terpaksa meminjam
uang dari teman dan kerabat. Alhamdulillah, mereka sangat mengapresisasi
prestasi kami dan memberikan pinjaman modal untuk terbang ke Filipiina.
Tanggal 13 Maret.
Aku benar-benar terbang ke Filipina. Tak dapat disangka-sangka,
seorang dari keluarga yang sangat sederhana bahkan masuk dalam kategori dhuafa
bisa menginjakkan kakinya di luar negeri sebagai akademisi. Statement
dhuafa tidak kujadikan sebagai masalah, melainkan tantangan. Kutanamkan
dalam pikiranku bahwa Allah menetapkanku sebagai dhuafa karena percaya
bahwa aku bisa melalui ujian ini. Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha, Allah
tak akan menguji hambanya diluar kemampuannya. Hal ini berarti Allah
benar-benar percaya aku mampu melewati ujian dhuafa ini. Tidak
sembarangan Allah memberikan ujian dhuafa ini ke berbagai orang, hanya
orang-orang khususlah yang dipercaya dapat melaluinya. Oleh karenanya, ujian
ini membuatku bersemangat ingin menunjukkan bahwa aku dapat dipercaya Allah dan
bisa lulus melewatinya.
Pengalamanku ke Filipina hanyalah awal dari sebuah pengembaraan
intelektual. Next target is Tokyo Sky Tree, Jepang.
0 komentar:
Post a Comment